School well-being assessment at inclusion school

Ina Lathifah, Nurul Hidayah, Mujidin Mujidin

Abstract


Siswa berkebutuhan khusus adalah pihak yang memiliki kerentanan dikarenakan disabilitasnya dan rentan mendapatkan tindakan diskriminasi karena dipandang lemah. Hal ini menjadi suatu rintangan dan hambatan bagi anak berkebutuhan khusus untuk beraktifitas dan mendapatkan pendidikan secara layak. Tingkat kepuasaan siswa terhadap keadaan sekolahnya dapat dilihat melalui kesejahteraan sekolah (school well-being). Kesejahteraan sekolah (school well-being) merupakan evaluasi kognitif dan afektif siswa terhadap sekolah. Kajian ini bertujuan mengeksplorasi gambaran school well-being anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Melihat kurangnya penelitian tentang school well-being anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi, diharapkan kajian ini dapat memberikan informasi pendukung terkait school well-being anak berkebutuhan khusus kepada sekolah dan pihak terkait agar tercipta sekolah yang mampu menciptakan lingkungan belajar kondusif, sehingga siswa berkebutuhan khusus merasa puas belajar di sekolah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan diskusi kelompok terarah (FGD) sementara instrumen menggunakan buku panduan FGD berdasarkan Model Kesejahteraan Sekolah yang dikemukakan oleh Konu dan Rimpela. Data dianalisis dengan menggunakan analisis isi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan sekolah siswa secara psikologis tinggi pada dimensi being (pemenuhan diri), health (status kesehatan), sedang pada aspek having (kondisi sekolah), tetapi rendah pada dimensi loving (hubungan sosial). School well-being di sekolah ini belum tercipta secara menyeluruh. Temuan penting lainnya adalah adanya kecenderungan bullying baik secara fisik maupun psikis dari siswa reguler.


Keywords


Kesejahteraan Sekolah; Siswa Berkebutuhan Khusus; Sekolah Inklusif

Full Text:

PDF

References


Amato, P. R. (1994). Life-span adjustment of children to their parents' divorce. The future of children, 143-164.

Awartani, M., Whitman, C., & Gordon, J. (2008). Developing instruments to captureyoung people's perceptions of how school as a learning environment affects their well-being. European Journal of Education, 43(1), hlm. 51-70.

Bakadorova, O., & Raufelder, D. (2014). The mediating role of socio-motivational support in the association between individual school self-concept and achievement motivation amongst adolescent students. European journal of psychology of education, 29(3), 347-366.

Bizarro, L. (2010). Adolescence psychological well-being: Effects of problems with parents. In Annali di Congresso Internazionale Educazione Familiare e Servizi per L’Infanzia, 13, 1-11.

Centre for Public Mental Health. (2013). Program sekolah Indonesia sejahtera: Latar belakang dan dasar pemikiran. www.cpmh.psikologi.ugm.ac.id/ diakses tanggal 27 Februari 2013.

Creswell. J.W. (2016). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed, edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Depdiknas. (2008). Surat Edaran no.380/C.C.6/MN/2003. Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas.

Heryani, R. (2017). School well being siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi SMP X Bandung. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Bandung: Universitas Islam Bandung.

Hurlock, E. B. (2001). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan, Jakarta: Erlangga.

Kemendiknas. (2010). Modul pelatihan pendidikan nasional. Cetakan pertama.

Khatimah, H. (2015). Gambaran school well-being pada peserta didik program kelas akselerasi di SMA Negeri 8 Yogyakarta. Jurnal Psikopedagogia ,4(1), 20-30.

Konu, A., & Rimpela, M. (2002). Well-being in schools: Conceptual model. Health Promotion International, 17, 79–87.

Konu, A.E.A, Lintonen, T & Rimpela, M. (2006). Factor structure of the school well being model. Journal of Health Education Research Theory & Practice,17(1), 732-742.

Kustawan, D dan Budi, H. (2013). Model implementasi pendidikan inklusif ramah anak pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah. Jakarta : PT. lukima metro media.

Marin, P., & Brown, B. (2008). The school environment and adolescent well-being: Beyond academics. JAMA, 295(13), 1549-1555.

Myers, D. G. (1993). The pursuit of happiness: Discovering the pathway to fulfillment, well-being, and enduring personal joy. New York: Avon..

Setiyawan, I & Dewi, K. S. (2015). Kesejahteraan sekolah ditinjau dari orientasi belajar mencari makna dan kemampuan empati siswa sekolah menengah atas. Jurnal Psikologi Undip, 14(1), 9-20.

Soutter, A. K., O'Steen, B., & Gilmore, A. (2012). The student well-being model: A conceptual framework for the development of student well-being indicators. International Journal of Adolescence and Youth.

Suldo, S.M., & Huebner, E.S. (2004). The role of life satisfaction in the relationship between authoritative parenting dimensions and adolescent problem behavior. Social indicators Research, 66 (1-2), 165

Web.Kemdikbud. (2017). Kemdikbud: Mendikbud Imbau Orang Tua Aktif Daftarkan Anak Berkebutuhan Khusus ke Sekolah. (Online). Diakses tanggal 22 Juli 2019 diperoleh dari http://www.kemdikbud.go.id/berita/kemdikbud-kasus-angka partisipasi sekolah abk

Wilkinson, R. B. (2004). The role of parental and peer attachment in the psychological health and self-esteem of adolescents. Journal of Youth andAdolescence, 33, hlm. 479-493.


Refbacks

  • There are currently no refbacks.